Selasa, 12 Juni 2012

TIDAKLAH BIJAK PRESIDEN BERIKAN GRASI NAPI NARKOTIKA




Langkah Presiden SBY memberikan grasi kepada narapidana narkotika bukanlah langkah yang bijak dalam pemberantasan narkotika. Dalam sejarah RI, baru kali ini Presiden memberikan grasi atau mengampuni pelaku kejahatan narkotika, kepada Corby napi warganegara Australia. Presiden-Presiden sebelumnya tidak pernah melakukan hal itu, baik terhadap napi WNI maupun napi asing.
Langkah Presiden memberikan grasi itu juga bertentangan dengan kebijakan pengetatan atau moratorium pemberian remisi kepada napi korupsi, narkotika, terorisme dan kejahatan trans-nasional terorganisir, sebagaimana diatur dalam PP 28/2006. Moratorium pemberian remisi kepada napi saja sudah menghebohkan. Tapi kini, Presiden malah memberi pengampunan.
Remisi diberikan kepada napi karena kelakuan baiknya selama menjalani pidana, jadi semacam imbalan atas perubahan sikap napi. Sementara grasi adalah pengampunan yang diberikan atas dasar belas kasihan oleh seorang Kepala Negara.
Ketika saya jadi Menteri Kehakiman, Presiden Perancis Francois Mitterand menulis surat kepada Pemerintah RI minta agar Presiden memberikan grasi kepada napi narkotika asal Perancis. Saya atas nama Presiden dengan tegas menolak permintaan itu. Dua minggu kemudian, Presiden Perancis mengirim utusan khusus, adik Pemimpin Libya Moammar Khaddafi menemui saya membawa pesan Presiden Mitterand. Saya tetap saja menolak permintaan itu. Saya katakan pada mereka bahwa Presiden RI belum pernah memberi grasi dalam kasus narkotika kepada siapa saja, apalagi kepada warganegara asing.
Saya heran, mengapa Presiden RI begitu lemah menghadapi permintaan Pemerintah Australia, sehingga dengan mudahnya mengampuni napi narkotika, yang dapat memberikan dampak buruk bagi harkat dan martabat bangsa.