TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang
Yusril Ihza Mahendra berencana akan mengajukan permohonan praperadilan terhadap
Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus
Mabes Polri terkait dihentikannya penyidikan dugaan tindak pidana yang dilakukan Swandy Halim selaku kurator dalam perkara kepailitan
PT Dewata Royal International (DRI).
Yusril mengakui bahwa, laporan dan bukti adanya tindak pidana yang
diajukan pada tanggal 25 Nopember 2009 lalu harus diusut tuntas.
Menurutnya, tindak pidana murni tidak dapat dihentikan dengan adanya
perdamaian atau pencabutan perkara atas keinginan terlapor selaku
pelaku, karena laporan tindak pidana harus diproses hukum.
“Apalagi adanya fakta laporan itu dicabut karena adanya tekanan yang dilakukan pihak kurator,” ungkap
Yusril Ihza Mahendra.
Dikatakannya, maraknya perusahaan sehat yang dinyatakan pailit
seharusnya menjadi perhatian instansi terkait dan pemerintah. Pasalnya,
hal itu merupakan bentuk kejahatan ekonomi dan berpotensi menjadi
malapetaka bagi iklim dunia usaha dengan melakukan penyimpangan terhadap
UU Kepailitan.
“Ini sama saja ada upaya merampok uang ratusan miliar rupiah dengan menyalahgunakan UU Kepailitan,” tutur Yusril.
Adanya penyalahgunaan UU Kepailitan bisa terlihat dalam kasus kepailitan terhadap
PT Dewata Royal International
pemilik Aston Bali Resort & Spa, Bali. Gugatan kepailitan itu
sendiri diawali munculnya perkara gugatan DRI terhadap sebuah bank BUMN
ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Juli 2009.
Pada gugatannya, DRI menduga adanya penyimpangan pengelolaan kredit
yang dilakukan bank plat merah tersebut. Namun, disaat gugatan itu dalam
proses pemeriksaan, justru bank tersebut mengajukan gugatan kepailitan
terhadap DRI ke PN. Niaga Surabaya. Padahal tak ada alasan bank tersebut
mengajukan gugatan pailit, karena selama ini DRI selalu lancar dalam
membayar kewajibannya. Bahkan, waktu jatuh tempo hutang yang dimiliki
DRI masih tersisa waktu lebih dari dua tahun.
“Bank selaku pemegang hak tanggungan tidak boleh mengajukan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), dimana hal ini diatur dalam UU
Kepailitan dan PKPU, serta SOP Perbankan. Jelas gugatan pailit itu
sebagai bukti indikasi adanya pemufakatan jahat bank tersebut dengan
Swandy Halim yang berprofesi sebagai pengacara dan kurator untuk
menggugurkan gugatan nasabah,” urai Yusril.
Gugatan kepailitan itu dikatakan Yusril telah menyalahi aturan hukum.
Seharusnya kurator bersikap independen dan tidak memiliki benturan
kepentingan dengan pihak manapun. “Keberadaan kurator seharusnya ada
sesudah adanya perkara, dimana perusahaan yang diajukan pailit memiliki
hutang kepada minimal dua kreditur. Bukan membuat skenario untuk
menggugurkan perkara perdata,” jelas Yusril.
Namun sayangnya, lanjut Yusril, dalam permohonan PKPU yang teryata
dikabulkan oleh pengadilan, ternyata terungkap permohonan pailit
tersebut mencantumkan nama kreditur fiktif. Hal ini dilakukan untuk
menyiasati ketentuan minimal dua kreditur dalam permohonan kepailitan.
Tiga hari setelah dinyatakan pailit, gugatan DRI di PN Jakarta
Selatan dicabut oleh pihak bank selaku tergugat dan kurator, bukan oleh
penggugat dan bahkan tanpa sepengetahuan penggugat.
“Ini membuktikan aturan-aturan hukum dirusak oleh adanya mafia hukum
kepailitan dengan melibatkan kurator, pejabat bank dan mafia peradilan,”
tandas Yusril.
Mantan Menteri Hukum dan HAM ini menambahkan dalam proses PKPU selama
40 hari, dana perputaran usaha milik DRI yang terdapat di sejumlah bank
diblokir. Hal ini jelas bertujuan guna mematikan usaha yang sedang
berjalan.
“Dalam putusan PKPU sendiri jelas tak ada perintah untuk memblokir
rekening, bahkan bukti surat dari Pengadilan Niaga Surabaya menyatakan
rekening-rekening bank milik DRI tidak berkaitan dengan perkara,” imbuh
Yusril.
Ia juga menegaskan bahwa perlakuan tersebut sangat bertentangan
dengan azas kelangsungan usaha yang dianut UU Kepailitan dan PKPU.
Pemblokiran tersebut, sambung Yusril, membuat DRI harus membiayai
seluruh operasional hotelnya menggunakan dana pribadi. Hal ini dilakukan
untuk mempertahankan usahanya agar tetap berjalan normal, dimana
rata-rata tingkat hunian tamu Aston Bali Resort & Spa diatas 94
persen.
“Atas alasan itulah kami mengajukan prapradilan agar pihak kepolisian
bisa mengungkap kasus mafia kepailitan yang diiringi kasus pembobolan
dana klien kami di sejumlah bank yang terjadi setelah proses kepailitan.
Selain kerugian aset ratusan miliar, dana DRI berjumlah puluhan miliar
juga ikut raib,” kata Yusril.
Lalu kemana dana itu raib?. Yusril menduga aset dan dana tersebut
tanpa hak ditransfer ke rekening pribadi milik Swandy Halim. Padahal
sebagai kurator, berdasarkan UU Kepailitan, Swandy Halim bekerja untuk
kepentingan kreditur dan debitur, bukan justru untuk kepentingan
pribadi.
Atas tindakan itu, akhirnya pihak DRI melalui kuasa hukumnya
melaporkan tindakan Swandy Halim ke Polda Bali yang sejauh ini sudah
dilakukan pemeriksaan terhadap saksi dari sejumlah pejabat bank.
Sementara yang berkaitan dengan aset milik DRI, sejauh ini sedang dalam
penyelidikan Bareskrim
Mabes Polri.
Menurut Yusril yang juga turut membuat draft RUU Kepailitan, UU
Kepailitan menganut azas kelangsungan usaha dan mengatur organ Perseroan
Terbatas (PT) tetap berfungsi, kecuali dalam pelaksanaan fungsi
tersebut merugikan perusahaan. Tindakan pemblokiran rekening bank PT DRI
bisa mematikan usaha dan hak berusaha yang dijamin UU.
Apa yang dilakukan oleh pihak Swady Halim dan bank BUMN tersebut
merupakan tindakan kejahatan ekonomi yang bisa merusak beberapa
perundangan, diantaranya UU Kepailitan-PKPU, UU Perbankan, UU Hak
Tanggungan dan UU Perseroan Terbatas. Hal ini juga telah membuat
Mabes Polri membentuk tim khusus untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus DRI.
Dengan alasan itulah, PT DRI melalui kuasa hukumnya
Yusril Ihza Mahendra
mengajukan praperadilan dan berharap para korban mafia kepailitan
berani melaporkan kejahatan ekonomi ini kepada pihak yang berwajib.
Polri pun diminta mengusut kejahatan ekonomi bernilai besar.
http://www.tribunnews.com/2013/03/28/yusril-ihza-mahendra-berjuang-melawan-mafia-kepailitan