Rabu, 12 Oktober 2011

YUSRIL TETAP TIDAK PUAS ATAS PUTUSAN PENGADILAN DEN HAAG

Meskipun Pengadilan Den Haag telah memutuskan Pemerintah Belanda bersalah atas pembunuhan massa di Rawagede, Bekasi, 9 Desember 1947, mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra tetap menyatakan ketidakpuasannya. “Memang ini, langkah maju pengadilan Belanda yang patut kita syukuri, namun masih jauh dari memuaskan” kata Yusril dlam rilisnya yang disampaikan ke berbagai media Sabtu, 17 September 2011. Pengadilan Belanda dalam putusannya membenarkan bahwa tanggal 9 Desember 1947, tentaranya telah “membunuhi rakyatnya sendiri” dalam jumlah lebih 400 orang di Jatigede. Karena itu Pemerintah Belanda wajib membayar kompensasi kepada keluarga korban.
Apa yang diputuskan Pengadilan Den Haag itu tetap mencerminkan konservatisme orang Belanda dalam memandang status Indonesia pasca proklamasi 17 Agustus 1945. Pengadilan Den Haag secara implisit menyatakan bahwa Indonesia belumlah merdeka sejak 17 Agustus 1945, sehingga yang dibantai tentaranya di Jatigede adalah “rakyatnya sendiri”. Jadi mereka bukan rakyat Indonesia, tetapi rakyat Hindia Belanda yang masih menyandang status negeri jajahan.  Sampai sekarang, jelas Yusril, Belanda tetap mengakui kemerdekaan Indonesia baru terjadi tanggal 27 Desember 1949 setelah Konfrensi Meja Bundar dan terjadinya “penyerahan kedaulatan” dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).
Kalau Pengadilan Den Haag mengakui bahwa Indonesia merdeka sejak 17 Agustus 1945, maka yang dibunuh tentara Belanda di Jatigede bukanlah rakyat Belanda, tetapi rakyat negara lain, sehingga yang dilakukan oleh tentara Belanda adalah kejahatan perang. Kalau demikian, maka tentara Belanda sebenarnya melakukan genosida di Indoensia pasca Perang Dunia II.
Pandangan Yusril mengenai soal di atas sudah lama membuat Pemerintah Belanda berang. Ketika menjadi Menteri Kehakiman, Yusril pernah mengecam Belanda atas perbuatan genosida yang dilakukan oleh Kapten Westerling, baik di Jawa Barat maupun di Sulawesi Selatan. “Orang Belanda tidak perlu mengajari kami tentang HAM. Sebagai bangsa yang ratusan tahun di jajah Belanda, kami lebih mengerti soal HAM daripada orang Belanda” ucap Yusril setelah bertemu Menteri Kehakiman Belanda di Den Haag tahun 2003 dan dimuat besar-besar oleh media massa Belanda. Yusril ketika itu mempersoalkan kejahatan yang dilakukan Westerling, yang menurut anggapannya diketahui dan bahkan direstui oleh Pemerintah Belanda. “Westerling yang telah membantai rakyat negara kami, mendapat Bintang Kehormatan dari Ratu Belanda, sekembalinya dia ke Nederland. Hal itu sangat menyakitkan hati bangsa kami” kata Yusril ketika itu.
Statemen Yusril yang sangat keras di ibukota Belanda itu, membuat ketegangan hubungan diplomatik kedua negara, sehingga Pemerintah Belanda mengancam mau mengusir Dubes kita di sana. Namun Yusril malah balik mengancam, Pemerintah Indonesia juga bisa mengambil langkah yang sama, mengusir Dubes Belanda di Jakarta.  Koran Belanda De Telegraf memuat berita headline dengan judul “Minister van Justitie Yusril Haat Nederlanders” (Menteri Kehakiman Yusril Membenci Orang Belanda), kenang Yusril atas peristiwa yang terjadi 8 tahun yang lalu itu.
Belanda hingga kini masih beranggapan apa yang dilakukan tentaranya di Indonesia antara tahun 1945 sampai dengan tahun 1949 sebagai “aksi polisionil” karena mereka menganggap Indonesia adalah bagian dari wilayah Belanda. Kalau Belanda mengakui Indonesia merdeka sejak 17 Agustus 1945, maka apa yang dilakukan Belanda dalam periode itu adalah agressi militer terhadap negara lain. Apa yang dilakukan oleh Weterling, Van Mook dan lain-lainnya yang melakukan pembantaian haruslah diakui sebagai genosida yang merupakan bagian dari kejahatan perang. “Belanda mestinya dituntut ke Mahkamah Internasional atas kejahatannya di masa lalu” tegas Yusril.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar